Welcome To Blog Fisika Cantik

Teori fisika : Menguji Teori Gravitasi Einstein


Agung Waluyo (George Washington University)
"Ptolemy menciptakan gambaran alam semesta dan gambaran ini bertahan sampai dua ribu tahun. Newton menciptakan gambaran alam semesta dan bertahan sampai dua ratus tahun. Sekarang Dr. Einstein telah menciptakan gambaran alam semesta yang baru dan tidak seorangpun yang tahu berapa lama gambaran ini bisa bertahan." George Bernard Shaw (1930)

Mungkinkah Albert Einstein berbuat kesalahan dalam teori-teori yang pernah disusunnya? Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Karena hampir semua teori yang Einstein ajukan telah terbukti melalui eksperimen. Tetapi masih ada satu teorinya yang sampai saat ini masih belum teruji sepenuhnya: teori relativitas umum.
Untuk itu sebuah satelit yang bernama Gravity Probe (GP) B telah diluncurkan pada hari Senin 19 April 2004 pukul 10:01 pagi waktu Pasifik dari Markas Angkatan Udara AS Vandenberg, California Selatan. Proyek yang telah mengalami penundaan bertahun-tahun ini bernilai 700 miliun dollar AS. Satelit ini diluncurkan dengan satu tujuan
Tujuan utama dari eksperimen ini adalah untuk menguji kebenaran premis utamanya tentang medan ruang dan waktu yang Einstein ajukan sebagai dasar dari teori relativitas umumnya. Satelit GP B yang terdiri dari teleskop dan sistem giroskop ini akan mengelilingi bumi dari kutub utara ke selatan dengan ketinggian 640 km sampai dua tahun. Satelit dengan peralatan yang sangat canggih ini diharapkan bisa mendeteksi pengaruh geometri medan ruang dan waktu di sekitar daerah pengaruh massa bumi
Tulisan ini akan terdiri dari dua bagian. Bagian pertama akan mengakrabkan pembaca dengan teori relativitas umum Einstein, fenomena alam yang diprediksikan sebagai akibat dari teori ini dan eksperimen yang telah dilakukan sebagai konfirmasi prediksi tadi. Bagian kedua membahas lebih jauh eksperimen yang sedang dilakukan dalam proyek GP B untuk membuktikan klaim tentang medan ruang dan waktu.
Dua kejanggalan dalam teori gravitasi Newton
Gravitasi adalah fenomena yang dekat sekali dengan kehidupan kita. Setiap orang bisa merasakannya. Gaya ini bisa dirasakan dan dilihat dalam berbagai bentuk yang berbeda. Ketika kita melenggang pada jalan menurun, tarikan gravitasi akan mempercepat langkah kita. Hal lain yang sangat jelas bagi kita adalah setiap benda yang dilemparkan pasti akan jatuh ke tanah. Namun demikian baru ditahun 1687 gravitasi ini bisa dijelaskan dan dirumuskan ke dalam persamaan matematika sederhana. Orang pertama yang sanggup menjelaskannya adalah Sir Issac Newton.
Fisikawan berkebangsaan Inggris ini, berhasil mengungkapkan mekanisme bagaimana dua object bermassa yang berinteraksi dalam gaya tarik-menarik gravitasi. Matahari di dalam solar sistem kita, menurut teori ini, memiliki gaya tarik yang sangat besar jangkauannya sehingga bisa menarik benda-benda angkasa yang bermassa relatif lebih kecil seperti planet, komet, dan asteroid dan melayang pada orbitnya.
Baru kemudian di awal abad 20 Einstein menemukan kejanggalan dalam teori gravitasi Newton. Kejanggalannya terletak pada ketidakcocokan teori gravitasi Newton dengan teori relativitas khusus yang diajukan Einstein pada tahun 1905.
Dalam teori relativitas khususnya, Einstein berusaha agar teori relativitas khususnya konsisten dengan teori electromagnetik Maxwell. Akibatnya Einstein tiba pada klaim bahwa cahaya memiliki kecepatan sebesar 299,792 km per detik. Bukan hanya itu Einstein mengatakan bahwa kecepatan ini adalah kecepatan absolut. Artinya benda atau energi lain bisa bergerak mendekati kecepatan ini tetapi tidak akan pernah melebihi kecepatan cahaya. Einstein juga melihat ada prinsip fisika lain yang tidak bersesuaian dengan teori gravitasi Newton. Prinsip ini dikenal dengan prinsip ekuivalen.
Newton sendiri tidak mengindikasikan bagaimana gaya gravitasi bekerja. Ia hanya mengatakan bahwa gravitasi adalah satu gaya yang ÁÔudah dari sananya¡¦dibawa oleh benda bermassa. Menurut Newton, sebuah benda bermasssa akan mengerjakan gaya tarik kepada benda bermassa lain yang berada dalam jangkauan gaya gravitasi benda yang bermassa lebih besar. Gaya tarik gravitasi itu bekerja dan menjelajah ruang hampa diantara dua benda tadi dalam waktu sesaat.
Hal ini bertentangan dengan klaim Einstein bahwa tidak ada energi maupun massa yang bisa memiliki kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Mengingat jangkauan gaya gravitasi yang mencapai ribuan bahkan jutaan kilometer, maka gaya gravitasi tidaklah mungkin menjelajah angkasa luar dalam waktu yang singkat. Jika gaya gravitasi bergerak dengan cara yang sama seperti cahaya bergerak, maka Einstein berkesimpulan kecepatan gaya gravitasi bekerja juga tidak boleh melebihi kecepatan cahaya. Dengan jarak jangkauan yang jauh maka jelas gravitasi memerlukan waktu yang panjang untuk menjelajah ribuan bahkan jutaan kilometer.
Ambil saja perjalanan cahaya dari Matahari sampai ke planet-planet dalam tata surya. Untuk bumi yang berjarak rata-rata 150 ribu kilometer dari matahari, cahaya yang kita nikmati di bumi ini memerlukan waktu sekitar 8,3 menit untuk tiba dibumi setelah dipancarkan dari permukaan matahari. Sedangkan untuk planet Pluto yang berjarak sekitar 5940 juta kilometer dari matahari, cahaya membutuhkan waktu sekitar 5,5 jam untuk tiba disana.
Namun demikian dengan teori gravitasi Newton bentuk dan orbit planet-planet dalam tata surya bisa diprediksikan dengan tepat meskipun perhitungan dilakukan dengan anggapan bahwa gaya gravitasi bekerja dengan sesaat. Jika gravitasi bekerja tidak dalam waktu sesaat, sesuai dengan relativitas khusus Einstein, maka orbit planet ini harus mengalami koreksi. Tetapi jika koreksi Einstein dimasukkan, maka koreksi ini justru memberikan hasil prediksi orbit planet yang tidak sesuai dengan data astronomi. Pertimbangan ini membuat Einstein menyimpulkan adanya mekanisme dalam teori gravitasi yang belum dijelaskan oleh Newton.
Kejanggalan kedua yang Einstein temukan berhubungan dengan prinsip ekuivalen. Secara sederhana prinsip ini menggambarkan bahwa semua hukum fisika akan berperilaku sama dalam kerangka acuan mana saja, baik dalam kerangka diam, dalam kerangka yang berjalan dengan kecepatan konstan maupun dengan laju kecepatan yang positif.
Misalkan kita berada dalam sebuah pesawat ruang angkasa yang berada di ruang hampa dan pesawat itu bergerak ke atas dengan laju kecepatan yang sama dengan laju kecepatan gravitasi bumi yaitu 9,8 meter per detik kuadrat. Jika ada sebuah buku yang melayang dalam pesawat itu, maka buku itu akan bergerak menuju lantai pesawat dengan laju kecepatan yang sama pula: 9,8 meter per detik kuadrat. Jika buku dengan berat yang sama dilepaskan dari ketinggian tertentu di bumi dalam pengaruh gravitasi bumi, maka buku itu pasti akan jatuh bumi dengan laju kecepatan yang sama pula.
Hal penting yang bisa disimpulkan dari percobaan sederhana di atas adalah bahwa gerak buku di dalam pesawat dan gerak buku ketika jatuh di permukaan bumi tidak bisa dibedakan. Apakah buku tadi jatuh karena ditarik gravitasi bumi ataukah hanya sekedar bergerak dengan laju kecepatan yang sama dengan gravitasi bumi. Dengan kata lain gravitasi bisa diciptakan maupun dihilangkan hanya dengan memandang dari kerangka acuan yang berbeda. Jika demikian mungkinkah buku tadi jatuh karena ditarik bumi ataukah sebaliknya permukaan bumi yang bergerak keatas kearah buku tadi dengan laju kecepatan yang sama dengan gravitasi bumi.
Konsep ruang dan waktu yang revolusioner
Kedua kejanggalan ini merupakan kunci bagi Einstein untuk tiba pada konsep gravitasi baru yang revolusioner. Setelah sepuluh tahun bergulat dengan kedua masalah ini, pada tahun 1916 Einstein muncul dengan teori gravitasi baru yang didasarkan pada cara pandang terhadap ruang dan waktu yang sama sekali berbeda dengan cara pandang Newton. Jikalau Newton memandang ruang angkasa sebagai ruang yang kosong, Einstein menganggap ruang angkasa tersebut terbuat dari anyaman medan ruang dan waktu. Teori gravitasi baru ini lebih dikenal dengan nama teori relativitas umum.
Jikalau Newton menyarikan teori gravitasi dalam sebuah persamaan saja, Einstein menyarikannya dalam 16 buah persamaan di dalam sebuah persamaan matematik yang ditulis dengan notasi yang dikenal sebagai tensor. Persamaan tadi menghubungkan geometri ruang dan waktu dengan massa dan energi.
Medan ruang dan waktu adalah medan 4-dimensi, tiga dimensi berasal dari ruang dan satu dimensi berasal dari waktu. Bentuk susunan anyaman ruang dan waktu ini sangat dipengaruhi oleh distribusi massa atau energi yang berada di dalam medan 4-dimensi ini. Benda angkasa seperti matahari akan melekukkan medan ini. Efek lekukannya bisa dibayangkan seperti lekukkan permukaan kasur karet yang disebabkan oleh bola bowling di atasnya. Sebagai perhatian, gambaran lekukan kasur dua dimensi ini hanyalah untuk menyederhanakan gambaran lekukan 4-dimensi yang sulit dibayangkan. Fenomena ini lebih dikenal sebagai warped space time atau ruang-waktu yang terlekuk.
Dalam konsep ini, semakin besar massa benda semakin luas efek lekukan yang terjadi. Karena matahari memiliki massa yang cukup besar, maka efek lekukan medan ruang dan waktu memiliki jangkauan yang jauh menjangkau planet, asteroid atau benda-benda angkasa yang bermassa lebih kecil lainnya. Gerakan planet-planet yang mengorbit matahari bisa dimengerti bukan sebagai efek gaya tarik matahari melainkan karena planet-planet ini bergerak mengikuti kontur medan ruang dan waktu yang terlekuk di sekitar matahari.
Dua tahun setelah Einstein mengajukan teorinya tentang medan ruang dan waktu, pada tahun 1918 dua fisikawan berkebangsaan Austria, Joseph Lense dan Hans Thirring, meprediksikan bahwa benda bermassa bisa merubah bentuk medan ruang dan waktu dengan cara yang lain. Mereka mengajukan bahwa setiap planet atau bintang yang berputar pada porosnya akan menyeret anyaman medan ruang dan waktu ke arah kemana planet dan bintang itu berputar. Fenomena ini dikenal sebagai seretan kerangka atau frame-dragging.
Bisa jadi Einstein benar, tetapi tidak berarti bahwa teori gravitasi Newton sama sekali salah. Apakah setelah kita memiliki teori gravitasi ala Einstein lalu teori gravitasi Newton bisa ditinggalkan? Tidak! Keduanya harus sama-sama dipegang untuk bisa mengerti alam semesta ini dan fenomena-fenomena di dalamnya. Teori Einstein memang memberikan pengertian kita yang lebih akurat terhadap alam semesta. Namun demikian sampai teori Einstein bisa diuji kebenarannya di lapangan, barulah kita bisa menerima teori ini sepenuhnya.
Test yang telah dilakukan
Ketika mengajukan teorinya Einstein paham benar bahwa orang akan meminta bukti lapangan untuk bisa menerima teori relativitas umumnya. Oleh karena itu ia mengajukan tiga fenomena alam semesta yang bisa dijelaskan dengan menggunakan teori relativitas umum: melekuknya lintasan cahaya, gerak presisi perihelion planet Merkuri, dan pergeseran warna merah akibat gravitasi.
Premis utama relativitas umum adalah bahwa semua materi dan energi dipengaruhi oleh medan ruang dan waktu yang terlekuk. Lintasan cahaya termasuk ke dalam kategori ini, sehingga bisa berjalan dalam garis lengkung. Cahaya yang berasal dari bintang yang sangat jauh dan terdeteksi oleh teleskop di permukaan bumi mungkin mengalami fenomena ini. Apalagi ketika cahaya itu melintas berdekatan dengan matahari. Gravitasi matahari yang cukup besar oleh Einstein diprediksikan membelokkan cahaya sejauh 1,75 detik arc. Satu detik arc sama dengan satu per per tiga ribu enam ratus derajat.
Untuk mengamati fenomena ini, pengamatan harus dilakukan ketika sebuah bintang menempati lokasi yang dekat dengan matahari. Tetapi dalam kondisi seperti ini cahaya matahari akan menutupi cahaya bintang tersebut. Karenanya pengamatan harus dilakukan pada saat gerhana matahari total. Pada 29 Mei 1919 Sir Arthur Edington memimpin ekspedisi ke Afrika untuk pengamatan sinar bintang saat gerhana matahari total terjadi. Pada 6 November 1919, konfirmasi pembelokan lintasan cahaya yang diprediksikan Einstein dalam ketelitian sekitar 20 persen diumumkan ke dunia. Di antara tahun 1969 sampai 1975 sebanyak dua belas pengamatan dilakukan dengan menggunakan gelombang radio dan menghasilkan pengukuran dengan ketelitian satu persen dibanding dengan prediksi Einstein.
Sesuai dengan hukum gerak dan teori gravitasi universal Newton, setiap planet akan bergerak mengelilingi matahari dalam lintasan orbit elips. Posisi terdekat dan terjauh sebuah planet dari matahari dalam lintasan tersebut masing-masing dikenal sebagai perihelion dan apehelion. Jika hanya satu planet yang mengelilingi matahari maka lintasan elips tadi tidak akan berubah, namun karena ada lebih dari satu planet dalam tata surya, planet-planet lain juga memberikan pengaruh gravitasinya yang relatif kecil kepada salah satu planet. Akibatnya orbit sebuah planet dalam tata-surya kita tidaklah statis melainkan bergerak berputar (berpresisi) terhadap Matahari.
Dari pengamatan yang dilakukan bertahun-tahun, titik perihelion planet merkuri mengalami total presisi sejauh 574 arc detik setiap satu abad. Namun teori gravitasi Newton hanya memberikan 531 arc detik. Itu berarti masih ada perbedaan sebanyak 43 arc detik. Tidak sedikit alasan yang diajukan untuk menjelaskan angka 43 arc detik ini namun tidak ada yang berhasil menyempurnakan prediksi dengan teori gravitasi Newton ini. Namun dengan teori gravitasinya, Einstein sanggup menjelaskan perbedaan 43 arc detik dan dengan demikian menghasilkan angka yang sesuai dengan data astronomy lapangan.
Fenomena terakhir yang diajukan oleh Einstein berhubungan dengan hilangnya sebagian energi cahaya ketika sebuah berkas cahaya keluar dari medan gravitasi sebuah benda angkasa. Ketika sebuah berkas sinar kehilangan sebagian energi, panjang gelombangnya berubah menjadi lebih panjang mengakibatkan warna cahaya tersebut akan bergeser ke arah warna merah. Itulah sebabnya fenomena ini disebut sebagai pergeseran warna merah akibat medan gravitasi.
Eksperimen terkenal untuk membuktikan prediksi ini dilakukan oleh R.V. Pound dan G.A. Rebka di universitas Harvard pada tahun 1959 dengan menggunakan teknik yang disebut sebagai efek Mossbauer. Sinar gamma yang dihasilkan oleh elemen radioaktif kobalt dipancarkan dari lantai dasar laboratorium fisika Jefferson di kampus itu. Melalui lubang yang didesain mencapai tingkat teratas laboratorium setinggi 22.5 meter menghasilkan konfirmasi perbedaan frekuensi cahaya yang dihasilkan.
Sebuah tes yang lebih akurat dari percobaan di atas adalah yang dilakukan oleh Gravity Probe A (GP A), percobaan yang menggunakan roket, di tahun 1976. Dalam percobaan ini, sebuah jam yang menggunakan cahaya maser-hidrogen dilepaskan dengan menggunakan roket Vessot-Levine. Frekuensi jam ini dibandingkan dengan frekuensi yang terdapat di bumi dan menunjukkan perbedaan yang sesuai dengan prediksi teori relativitas umum Eistein.
Sebenarnya ada fenomena lain yang ditemukan oleh fisikawan yang bernama I.I. Saphiro dari universitas Harvard di tahun 1964. Selain mengakibatkan lambatnya waktu berlalu, medan gravitasi juga mengakibatkan semakin memendeknya dimensi panjang yang berarti semakin melambatnya kecepatan cahaya jika berada dalam medan gravitasi. Di tahun 1970, I.I. Saphiro melakukan percobaan dengan signal radar yang dipancarkan dari bumi dan dipantulkan oleh planet Venus dan kembali ke bumi. Melalui eksperimen ini, Saphiro mencatat perlambatan cahaya sebanyak 240 perjuta detik. Hasil ini cocok dengan perhitungan Einstein dengan akurasi 3 persen.
Melihat hasil pengamatan lapangan yang telah dilakukan, sebenarnya masih menyisakan pekerjaan rumah bagi para fisikawan untuk mebuktikan kebenaran teori Eistein. Itulah sebabnya proyek Gravity Probe B (GP B) dibuat dan membutuhkan sekitar 40 tahun untuk merampungkan persiapannya dan akhirnya meluncurkannya.

"Meskipun terlihat sangat indah, kemungkinan besar teori relativitas umum Eisntein akan mengalami amandemen" (C.N. Yang , Pemenang hadiah nobel fisika)
Sebagaimana telah dibahas di dalam tulisan sebelumnya, pada tahun 1916 Einstein dengan cemerlang menyusun teori relativitas umum sebagai usaha untuk menjelaskan fenomena gravitasi di alam semesta. Teori ini disebut sebagai ciptaan paling brilian yang pernah dihasilkan dari pikiran manusia. Premis dasarnya adalah ruang angkasa yang terlihat kosong sebenarnya terbuat dari anyaman medan ruang dan waktu. Teori ini bukan saja menggabungkan konsep ruang, waktu dan gravitasi tetapi juga sanggup memprediksi fenomena-fenomena alam semesta lain yang sulit masuk diakal seperti black hole atau lubang hitam.
Lebih lanjut keberadaan benda astronomi seperti planet dan bintang memberikan pengaruh terhadap strukture anyaman ruang-waktu tadi. Sebuah planet, misalkan, akan melekukkan anyaman itu, efek lekukan ini disebut sebagai warped space time atau lekukan ruang waktu. Karena benda seperti planet dan bintang berputar pada porosnya, putaran ini diperhitungkan menyeret anyaman tadi. Efek seretan ini disebut sebagai efek frame dragging atau seretan kerangka.
Akibat lekukan anyaman ruang-waktu yang diakibatkan oleh matahari yang bermassa jauh lebih besar dari massa planet dan benda-benda lain dalam tata surya, benda-benda yang bermassa lebih kecil tadi akan bergerak mengikuti bentuk lekukan anyaman di sekitar matahari. Efek ini juga dikenal sebagai efek geodetic. Akibat massa matahari yang sangat besar, efek geodetinya menjangkau bahkan sampai planet Pluto atau Cesna (kandidat planet yang baru saja ditemukan sebagai benda angkasa yang terjauh dari matahari).
Meskipun prediksi teori relativitas umum dalam pembelokan lintasan cahaya, presisi perihelion planet Merkuri, pergeseran warna merah dan melambatnya kecepatan cahaya akibat gravitasi telah dikukuhkan keberadaannya melalui eksperimen, dua efek utama dari teori ini, efek geodetik dan seretan kerangka, belum terbukti secara langsung melalui eksperimen. Sehingga boleh dikatakan bahwa teori relativitas umum adalah teori yang paling sedikit mendapat perhatian oleh para eksperimentalis.
Lebih lanjut Einstein sendiri mengakui bahwa persamaan relativitas umumnya memiliki kelemahan. Suku di sisi kiri persamaannya, yang menggambarkan geometri ruang-waktu, merupakan suku yang kokoh seperti batu granit sementara suku di sisi kanan persamaannya, yang menghubungkan geometri ruang-waktu dengan massa dan energi, adalah suku yang lemah seperti pasir dipantai.
Bukan hanya itu, para ilmuwan melihat teori relativitas umum memiliki masalah dalam teori itu sendiri yang lebih serius. Kenyataan bahwa dari keempat gaya dalam alam semesta ini, gaya inti kuat, inti lemah, elektromagnetik dan gravitasi, gravitasi adalah satu-satunya gaya yang sulit untuk digabungkan dengan ketiga gaya yang lain dalam teori penggabungan agung (GUT). Lebih lanjut, teori gravitasi ini tidak bersesuaian dengan teori mekanika kuantum yang merupakan teori terbesar yang pernah ditemukan di awal abad 20. Para fisikawan banyak berspekulasi tentang skenario teori gravitasi kuantum, tetapi akhirnya spekulasi ini hanya berakhir pada sebatas sebagai spekulasi saja.
Kesulitan-kesulitan yang ditemukan dalam teori gravitasi Einstein ini menguatkan kecurigaan para fisikawan bahwa teori ini sepertinya perlu diamandemen. Untuk menemukan bukti kuat yang dapat mendukung amandemen teori gravitasi Einstein ini dibuatlah eksperimen GP B yang khusus akan menguji premis utama teori ini dalam efek geodetik dan seretan kerangka.
Prinsip sederhana eksperimen Gravitasi Probe (GP) B
Setiap eksperimen memerlukan sesuatu yang bisa diamati dan alat pengukurnya. Karena tujuan utama eksperimen GP B adalah mencari bukti adanya medan ruang-waktu, maka pertanyaannya adalah apakah anyaman medan ruang-waktu ini bisa ÅÅilihat¡¦atau dideteksi. Kalau bisa adakah alat untuk mendeteksinya? Untuk menjawab pertanyaan ini, pada tahun 1960 Leonard Schiff, fisikawan dari universitas Stanford dan George Pugh fisikawan dari Departemen Pertahanan AS, secara terpisah mengusulkan bahwa alat yang bisa dilihat efek geodetik dan seretan kerangka ini adalah giroskop.
Giroskop adalah alat yang memiliki prinsip kerja yang sama dengan prinsip kerja sebuah gangsingan, mainan anak-anak yang dijual dipasar tradisional. Sebuah gangsingan yang berputar pada porosnya memiliki besaran fisis yang membuatnya tetap berdiri ketika berputar yang disebut momentum angular. Berat gansingan mengakibatkan poros gansingan tidak berdiri tegak lurus melainkan sedikit miring. Momentum angular ditambah dengan berat gansingan tadi mengakibatkan gansingan melakukan dua gerakan berputar: putaran terhadap porosnya sendiri dan putaran terhadap poros vertikal permukaan dimana sebuah gansingan berputar. Gerak berputar yang kedua ini disebut gerak presisi.
Misalkan sebuah gansingan berputar di atas tanah. Jika berat gansingan diabaikan, maka putaran yang tinggal hanyalah putaran gansingan pada porosnya. Lebih lanjut jika tanpa gangguan gaya lain maka gangsingan tadi akan akan terus berputar dengan arah poros yang tetap. Dengan asumsi ini, ketika gansingan tadi bergeser dari tempat semula pada permukaan yang tidak rata, poros putaran gansingan ini akan berubah arah dan perubahan ini akan bersesuaian dengan bentuk atau kontur permukaan tanah. Sehingga perubahan arah poros gansingan ini dapat dipakai sebagai informasi mengenai bentuk permukaan tanah.
Prinsip kerja yang sama juga digunakan oleh giroskop pada GP B untuk mendeteksi adanya lekukan medan ruang-waktu di sekitar bumi. Untuk bisa mengisolasi giroskop dari efek yang lain selain efek geodetik dan seretan kerangka, giroskop pada satelit GP B harus dikemas sedemikian rupa sehingga pengaruh-pengaruh seperti cacat fisik giroskop dan medan magnet bumi bisa dihindari.
Giroskop dan teleskop pada satelit GP B
Tantangan eksperimen ini selanjutnya adalah kecilnya pengaruh kedua efek tadi pada perubahan arah poros giroskop. Sesuai dengan perkiraan perhitungan dengan teori gravitasi Einstein, sebuah giroskop akan mengalami perubahan sejauh 6,614 mili-arc-detik atau sekitar 0,00183 derajat per tahun ke arah utara bumi akibat efek geodetik. Sementara itu, efek seretan kerangka hanya akan memberikan perubahan sejauh 40,9 mili-arc-detik per tahun pada arah horizontal ke arah timur, perubahan yang sangat sulit terdeteksi oleh alat pengukur sudut konvensional manapun.
Untuk keperluan pengukuran kuantitas yang sangat kecil ini, para ilmuwan pada proyek ini harus membuat giroskop atau rotor berbentuk bola yang kebulatannya mendekati sempurna. Rotor yang berjumlah 4 buah ini masing-masing berukuran sama seperti bola ping-pong yang berdiameter sekitar 1,5 inchi.
Dengan teknologi fabrikasi yang baru para ilmuwan di universitas Stanford dan Nasa berhasil membuat rotor yang homogen. Kebulatannya yang sempurna mencapai ketelitian 40 kali ukuran atom. Artinya setiap titik pada permukaan bola rotor itu memiliki jarak sama dari pusat bola. Kalaupun terdapat perbedaan maka perbedaannya hanya berkisar 0,0000003 inchi. Homogenitas dan kebulatan yang sempurna ini akan menghindari ketidakseimbangan rotor dan gesekan dengan udara pada saat berputar.
Bagian dalam rotor terbuat dari Quartz padat. Quartz adalah material yang biasanya digunakan untuk perhiasan. Dipahat dari batangan quartz murni yang matang dari Brazil dan kemudian dipanggang dan dimurnikan di laboratorium di Jerman. Masing-masing rotor ini ditempatkan dalam sebuah kotak rumah yang memiliki 6 elektroda yang nantinya dipakai untuk mengangkat setiap rotor dengan medan listrik. Untuk memutar rotor-rotor tadi dalam ruang hampa, semburan gas helium digunakan sampai masing-masing rotor mencapai kecepatan putaran 10.000 rpm. Setelah itu setiap rotor akan berputar dalam ruang hampa di dalam kotaknya tanpa topangan sedikitpun.
Apapun cara pengukuran yang dilakukan dalam eksperimen ini, mekanisme yang dipakai tidak boleh mengganggu putaran mekanik rotor. Oleh sebab itu, pengukuran perubahan sudut yang sangat kecil ini harus dilakukan dengan metode yang tidak memberikan gangguan mekanik terhadap masing-masing rotor. Untuk itu para ilmuwan menggunakan alat ukur dengan teknologi baru yang dikenal dengan SQUID (Superconductor Quantum Interference Device). SQUID juga disebut magnetometer karena alat ini digunakan untuk mengukur medan magnet. Magnetometer ini sangat bergantung pada fenomena fisika yang dikenal sebagai superkonduktor.
Superkonduktor adalah sebuah fenomena fisika yang ditemukan oleh fisikawan Belanda H. Kammerlingh Onnes di tahun 1911. Pada suhu yang sangat rendah, yaitu pada suhu beberapa derajat diatas suhu nol absolut, bahan-bahan material tertentu akan kehilangan sifat hambatan listriknya. Sehingga jika sebuah arus listrik yang mengalir pada sebuah cincin superkonduktor maka arus tadi akan berputar pada cincin itu selamanya, asal saja cincin itu dipertahankan dalam suhu yang sangat rendah tadi.
Selain hambatan listrik yang praktis nol, bahan superkonduktor juga memiliki satu properti yang unik. Pada tahun 1948, seorang fisikawan teori yang bernama Fritz London memprediksikan bahwa superkonduktor yang berputar akan menciptakan momen magnet kecil. Keuntungannya adalah momen magnet ini berada persis bertindihan dengan sumbu putarannya. Itulah sebabnya setiap rotor dalam eksperimen ini dilapisi dengan Niobium, bahan yang memiliki sifat super konduktor pada suhu yang sangat rendah, dengan ketebalan lapisan 0,001270 milimeter. Ketika rotor berputar, lapisan tipis Niobium ini menghasilkan momen magnet seperti dalam efek London tadi. Ketika arah poros rotor berubah, momen magnet London tadi ikut berubah sesuai dengan arah poros rotor. Sehingga dengan mengamati perubahan momen magnet dengan peralatan SQUID sama saja dengan mengamati perubahan sudut rotor. Peralatan SQUID yang sangat sensitif ini sanggup mendeteksi perubahan momen magnet sekecil seper sepuluh ribu triliun medan magnet bumi.
Untuk mempertahankan keadaan superkonduktor pada suhu ¡¦71,4 Celcius, semua peralatan ditempatkan dalam sebuah termos logam yang berukuran 2,441 liter dan diisi dengan helium cair dalam keadaan superfluid. Dinding yang berlapis-lapis melindungi peralatan dari radiasi langsung di angkasa luar. Sehingga praktis tidak ada panas yang masuk ke dalam termos melalui radiasi tersebut. Peralatan pengontrol suhu mengatur kemungkinan masuknya panas yang terjadi akibat konduksi panas dari bagian atas termos dan radiasi sinar yang masuk ke dalam teleskop yang ditempelkan pada bagian atas rumah rotor. Dinding ini juga melindungi sistem rotor ini dari medan magnet bumi.
Peralatan penting kedua yang disertakan dalam rangkaian peralatan ini adalah teleskop yang berukuran sepanjang 36 centimeter yang tersusun dari cermin yang berdiameter 14,2 centimeter. Teleskop ini dipasang diatas kotak rumah rotor, sehingga poros rotor dan teleskop ini bisa dikatakan berada pada posisi arah yang sama pada mulanya. Teleskop ini berfungsi sebagai arah acuan yang dipakai untuk mengukur perubahan sudut pada rotor.
Idealnya, teleskop ini dibuat tetap mengarah kepada benda masif yang jauh di angkasa seperti kuasar, karena posisi benda ini akan terlihat tidak berubah relatif terhadap satelit GP B. Meskipun demikian, benda seperti ini terlihat redup oleh teleskop. Karena itu pilihan acuan jatuh kepada bintang binary (kembar) yang bernama IM Pegasi yang berjarak berkisar 300 tahun cahaya dari bumi.
Dari sekitar 1.400 bintang yang diseleksi, IM Pegasi memenuhi empat syarat sebagai bintang acuan. Bintang ini memiliki posisi yang menguntungkan seperti tidak ada benda lain yang akan berada diantara bintang ini dan satelitGP B. Kedua, bintang ini cukup bersinar terang buat teleskop pada satelit GP B untuk diamati. Ketiga, bintang ini cukup menghasilkan gelombang radio yang bisa ditangkap oleh teleskop gelombang radio di bumi. Terakhir, IM Pegasi berada bersebelahan dengan sebuah kuasar, sehingga sangat mudah diamati.
Gagasan yang membuka alam semesta baru
Melihat panjangnya perjalanan proyek ini, maka setiap orang yang terlibat didalamnya patut berbangga. Diawali dengan hanya sebuah gagasan sederhana pengukuran medan ruang-waktu dengan giroskop pada tahun 1960. Empat tahun kemudian NASA setuju untuk membiayai proyek ini. Dengan banyaknya teknologi baru yang diperlukan tidak sedikit keraguan muncul mengenai proyek GP B ini. Pada tahun 1973, NASA kembali mempertimbangkan apakah proyek ini diteruskan atau tidak. Dibutuhkan sekitar tiga puluh tahun dari gagasan ini diusulkan untuk tiba pada kesiapan teknologi pembangunan komponen satelit ini. Tahun 1990, komite Rosendhal NASA menyatakan kesiapan teknologi yang akan digunakan untuk membangun peralatan satelit GP B.
Setelah mengalami begitu banyak penundaan dikarenakan masalah pada satelit, cuaca, juga kendaraan peluncur, akhirnya satelit GP B dapat mengorbut bulan Mei 2004,. Untuk berfungsi secara penuh satelit ini masih membutuhkan waktu sekitar 44 hari dari waktu satelit ini tiba pada posisi orbit. Setelah giroskop berputar dengan kecepatan penuh, misi ini tiba pada fase sains dimana data-data akan dikumpulkan. Pada fase ini, tidak banyak perintah dari bumi yang dikirimkan ke satelit. Pengambilan data akan mengikuti pola rutin. Setelah fase sains selesai, satelit memasuki fase yang sebenarnya lebih penting yaitu fase post-sains. Pada saat ini akan lebih banyak perintah yang dikirimkan ke satelit untuk memberi error sistematis eksperimen pada data.
Apapun hasil yang dikuakkan oleh eksperimen ini akan memberikan kontribusi yang akan membuka wahana baru dan menambah kepingan misteri dari rahasia alam semesta yang sangat besar ini. Jika GP B berhasil melakukan tugasnya dengan baik, maka satelit ini telah melakukan pengukuran yang paling akurat dari efek geodetic dan seretan kerangka. Jika hasil eksperimen ini berlawanan dengan teori relativitas umum Einstein, maka para fisikawan diperhadapkan dengan tantangan untuk menyusun ulang seluruh teori alam semesta yang baru yang didukung oleh data eksperimen GP B ini.
Sumber : BeritaIptek (25 Oktober 2004)

0 komentar (+add yours?)

Posting Komentar